Analisis Pola Interferensi Pada Interferometer Michelson
Download Analisis Pola Interferensi Pada Interferometer Michelson
Preview text
Analisis Pola Interferensi Pada Interferometer Michelson untuk Menentukan Panjang Gelombang Sumber Cahaya
Masroatul Falah Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Diponegoro
ABSTRACT
An interferometer Michelson method is used to determine wavelength of diode laser.
Before used to determine wavelength of diode laser, have been done calibration by shifting micrometer using He-Ne laser. By shifting movable mirror, the interference fringes will appear fringes on screen which is can determine wavelength of diode laser.
From the result calibration, one scala of micrometer
has (0,9963 ± 0,0030)µm skala . The wavelength of red diode laser I is (648 ± 2) nm, red diode laser II is (645 ± 2) nm, and green diode laser is (543 ± 6) nm. Fringes form laser which has a large wavelength getting fewer than
laser with a small wavelength.
Keyword : Interferometer Michelson, Interference, Wavelength.
PENDAHULUAN Fenomena interferensi selalu berkaitan
dengan teori gelombang cahaya. Pada hakekatnya cahaya mempunyai besaran amplitudo, panjang gelombang, fase serta kecepatan. Apabila cahaya melewati suatu medium maka kecepatannya akan mengalami perubahan. Jika perubahan tersebut diukur, maka dapat di peroleh informasi tentang keadaan objek/medium yang bersangkutan misal indeks bias, tebal medium dari bahan yang dilewatinya dan panjang gelombang sumbernya.
Pengukuran panjang gelombang cahaya dapat dilakukan dengan cara interferensi. Untuk mendapatkan pola interferensi ada berbagai metode, antara lain dengan interforemeter Michelson, interferometer Fabry Perot dan interferometer Twymen Green. Interferometer yang dikembangkan oleh A.A. Michelson pada tahun 1881 menggunakan prinsip membagi amplitudo gelombang cahaya menjadi dua bagian yang berintensitas sama. Pembelahan amplitudo gelombang
menjadi dua bagian dilakukan dengan menggunakan pemecah sinar (beam splitter). Pola interferensi yang terbentuk pada interferometer Michelson lebih tajam, lebih jelas dan jarak antar frinjinya lebih sempit dibanding interferometer yang lain, baik interferometer Fabry Perot maupun Twymen Green (Resnick, 1999).
Dalam penelitian ini yang diamati adalah perubahan pola dan jumlah frinji interferensi pada Interferometer Michelson, sehingga dari perubahan pola frinji tersebut dapat dihitung nilai panjang gelombang laser dioda merah dan laser dioda hijau.
Manfaat dari penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai fenomena fisis dari interferensi dan prinsip kerja interferometer Michelson, sebagai kalibrasi alat optis dan sebagai dasar dalam pembuatan spektrometer. Untuk aplikasi lebih lanjut dapat diterapkan pada teknologi film tipis.
DASAR TEORI 1. Interferensi
Interferensi dan difraksi merupakan fenomena penting yang membedakan gelombang dari partikel. Interferensi ialah penggabungan secara superposisi dua gelombang atau lebih yang bertemu dalam satu titik di ruang. Sedangkan difraksi adalah pembelokan gelombang di sekitar sudut yang terjadi apabila sebagian muka
gelombang dipotong oleh halangan atau rintangan (Tipler, 1991).
Apabila dua gelombang yang berfrekuensi dan berpanjang gelombang sama tapi berbeda fase bergabung, maka gelombang yang dihasilkan merupakan gelombang yang amplitudonya tergantung pada perbedaan fasenya. Jika perbedaan fasenya 0 atau bilangan bulat kelipatan 360°, maka gelombang akan sefase dan berinterferensi secara saling menguatkan (interferensi konstruktif). Sedangkan amplitudonya sama dengan penjumlahan amplitudo masing-masing gelombang. Jika perbedaan fasenya 180° atau bilangan ganjil kali 180°, maka gelombang yang dihasilkan akan berbeda fase dan berinterferensi secara saling melemahkan (interferensi destruktif). Amplitudo yang dihasilkan merupakan perbedaan amplitudo masing-masing gelombang (Tipler, 1991).
Perbedaan fase antara dua gelombang sering disebabkan oleh adanya perbedaan panjang lintasan yang ditempuh oleh kedua gelombang. Perbedaan lintasan satu panjang gelombang menghasilkan perbedaan fase 360o, yang ekivalen dengan tidak ada perbedaan fase sama sekali. Perbedaan lintasan setengah panjang gelombang menghasilkan perbedaan fase 180o. Umumnya, perbedaan lintasan yang sama
dengan ∆d menyumbang suatu perbedaan
fase δ yang diberikan oleh (Tipler, 1991):
δ = ∆d 2π = ∆d 360o
(2.1)
λ
λ
Interferensi gelombang dari dua
sumber tidak teramati kecuali sumbernya
koheren, atau perbedaan fase di antara
gelombang konstan terhadap waktu. Karena
berkas cahaya pada umumnya adalah hasil
dari jutaan atom yang memancar secara
bebas, dua sumber cahaya biasanya tidak
koheren (Laud, 1988). Koherensi dalam
optika sering dicapai dengan membagi
cahaya dari sumber tunggal menjadi dua
berkas atau lebih, yang kemudian dapat
digabungkan untuk menghasilkan pola
interferensi. Pembagian ini dapat dicapai
dengan memantulkan cahaya dari dua
permukaan yang terpisah (Tipler, 1991).
Suatu alat yang dirancang untuk
menghasilkan pola interferensi dari
perbedaan panjang lintasan disebut
interferometer optik. Interferometer
dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
interferometer pembagi muka gelombang
dan interferometer pembagi amplitudo. Pada
pembagi muka gelombang, muka
gelombang pada berkas cahaya pertama di
bagi menjadi dua, sehingga menghasilkan
dua buah berkas sinar baru yang koheren,
dan ketika jatuh di layar akan membentuk
pola interferensi yang berwujud garis gelap
terang berselang-seling. Di tempat garis
terang, gelombang-gelombang dari kedua
celah sefase sewaktu tiba di tempat
tersebut. Sebaliknya di tempat garis (2.1)
gelap, gelombang-gelombang dari kedua
celah berlawanan fase sewaktu tiba di
tempat tersebut (Soedojo, 1992).
Untuk pembagi amplitudo,
diumpamakan sebuah gelombang cahaya
jatuh pada suatu lempeng kaca yang tipis.
Sebagian dari gelombang akan diteruskan
dan sebagian lainnya akan dipantulkan.
Kedua gelombang tersebut tentu saja
mempunyai amplitudo yang lebih kecil
dari gelombang sebelumnya. Ini dapat
dikatakan bahwa amplitudo telah terbagi.
Jika dua gelombang tersebut bisa
disatukan kembali pada sebuah layar
maka akan dihasilkan pola interferensi
(Hecht, 1992).
2.2. Interferometer Michelson
Interferometer
Michelson
merupakan seperangkat peralatan yang
memanfaatkan gejala interferensi. Prinsip
interferensi adalah kenyataan bahwa beda
lintasan optik (d) akan membentuk suatu
frinji (Resnick, 1993). Gambar dibawah
merupakan
diagram
skematik
interferometer Michelson. Oleh
permukaan beam splitter (pembagi
berkas) cahaya laser, sebagian
dipantulkan ke kanan dan sisanya
ditransmisikan ke atas. Bagian yang
dipantulkan ke kanan oleh suatu cermin
datar (cermin 1) akan dipantulkan kembali ke beam splitter yang kemudian menuju ke screen (layar). Adapun bagian yang ditransmisikan ke atas oleh cermin datar (cermin 2) juga akan dipantulkan kembali ke beam splitter, kemudian bersatu dengan cahaya dari cermin 1 menuju layar, sehingga kedua sinar akan berinterferensi yang ditunjukkan dengan adanya pola-pola cincin gelap-terang (frinji) (Soedojo, 1992).
1
lensa
Beam splitter
2 4
3
Gambar 2.1 Skema Interferometer Michelson dengan
1. laser, 2. cermin 1, 3. cermin 2, 4. layar
Pengukuran jarak yang tepat dapat
diperoleh dengan menggerakan cermin pada
Interferometer Michelson dan menghitung
frinji interferensi yang bergerak atau
berpindah, dengan acuan suatu titik pusat.
Sehingga diperoleh jarak pergeseran yang
berhubungan dengan perubahan frinji,
sebesar:
∆d = ∆Nλ 2
(2.2)
dengan ∆d adalah perubahan lintasan
optis, λ adalah nilai panjang gelombang
sumber cahaya dan ∆N adalah perubahan jumlah frinji (Phywe,2006). 2.3. Spektrum Atomik
Telah ditemukan bahwa zat mampat (zat padat dan zat cair) pada setiap temperatur memancarkan radiasi dengan berbagai panjang gelombang, walaupun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jika gas atomik atau uap yang bertekanan sedikit di bawah tekanan atmosfer, radiasi yang dipancarkan mempunyai spektrum yang berisi hanya panjang gelombang tertentu saja. Susunan ideal untuk mengamati spektrum atomik seperti itu digunakan spektrometer yang memakai kisi difraksi (Beiser, 1992).
Menurut Sears (1972), jika sumber cahaya adalah zat padat atau zat cair yang berpijar maka spektrumnya adalah kontinu, yaitu cahaya yang terdiri dari semua panjang gelombang. Tetapi jika sumber adalah gas yang didalamnya terjadi pelepasan muatan listrik atau sebuah nyala api maka spektrum yang muncul bukanlah sebuah pita warna kontinu tetapi hanya beberapa warna dalam bentuk garis-garis sejajar yang terisolasi. Spektrum semacam ini dikatakan sebagai spektrum garis.
Jangkauan spektrum cahaya tampak pada panjang gelombangnya adalah dari 380nm (dalam daerah warna
ungu) sampai dengan 760nm (dalam daerah
warna merah). Aproksimasi jangkauan
panjang gelombang untuk berbagai warna
dalam jangkauan cahaya tampak
ditunjukkan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Jangkauan panjang gelombang
berbagai warna dalam spektrum
cahaya tampak (Miller dan Schrocer,
1987)
Warna
Jangkauan panjang
gelombang (nm)
Ungu
380 – 450
Biru
450 – 490
Hijau
490 – 560
Kuning
560 – 590
Jingga
590 – 630
Merah
630 – 760
METODE PENELITIAN Langkah pertama yang harus dilakukan
dalam penelitian ini adalah mengkalibrasi interferometer Michelson dengan cara mengatur posisi laser, beam splitter, kedua cermin dan lensa agar sinar laser yang melewati semua peralatan tersebut tepat segaris. Kemudian mencari pola interferensi dengan cara menggeser-geser salah satu cermin sampai dihasilkan pola gelap terang (frinji) pada layar.
Kalibrasi mikrometer ini bertujuan untuk menentukan nilai 1 skala mikrometer (d) pada alat belum tentu sama dengan pergeseran cermin (movable mirror) sebesar 1 µm . Kalibrasi mikrometer dilakukan dengan menggeser movable mirror tiap 1µm, hingga mencapai 25 pergeseran skala
mikrometer. Akibat pergeseran skala
mikrometer maka pada layar akan
nampak perubahan jumlah frinji.
Sehingga dari transisi frinji yang
terhitung dapat ditentukan nilai tiap skala
mikrometer dengan menganggap nilai
panjang gelombang laser He-Ne adalah
632,8nm
Adanya perbedaan frekuensi
sumber menyebabkan nilai panjang
gelombang yang dihasilkan berbeda,
maka dengan prinsip interferometer
Michelson ini nilai panjang gelombang
laser dioda merah dan laser dioda hijau
dapat diukur. Untuk menentukan nilai
panjang gelombang (λ ) laser dioda merah
dan laser dioda hijau, dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan:
λ = 2∆d . Yaitu dengan cara, ∆N
menggeser movable mirror sehingga
panjang lintasan optis ikut bergeser
sejauh ∆d. Akibat pergeseran tersebut
maka pada layar akan tampak perubahan
jumlah frinji (frinji masuk ke pusat
interferensi) sebesar ∆N dan akhirnya
dapat diperoleh nilai λ. Pergeseran
dilakukan tiap 1 skala mikrometer.
Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ∆d (perubahan
lintasan optis), d (beda lintasan optis),
∆N (perubahan frinji), N (jumlah
perubahan frinji),
λ0 (panjang
gelombang laser He-Ne pada referensi = 632,8nm).
Diagram alat Interferometer Michelson yang digunakan dalam percobaan ditunjukan pada gambar di bawah ini:
1
2 5
7 3
6 4
8
Gambar 3.2 diagram alat percobaan Interferometer Michelson dengan keterangan gambar (1)Laser (2)lensa cembung (3)cermin tetap (4)cermin yang dapat digerakkan (5)beam splliter (6)layar (7)kamera digital (8)komputer
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kalibrasi Mikrometer
Kalibrasi mikrometer dilakukan dengan menggeser movable mirror tiap 1 µm, hingga mencapai 25 pergeseran skala mikrometer. Penentuan satu skala mikrometer pada Interferometer Michelson, diperoleh dengan menganggap nilai panjang gelombang laser He-Ne adalah tepat 632,8 nm (sesuai referensi), dengan persamaan (2.2) maka dapat dihitung nilai tiap satu skala mikrometer.
Prinsip dari percobaan interferometer Michelson yang telah dilakukan, yaitu
seberkas cahaya monokromatik yang dipisahkan di suatu titik tertentu sehingga masing-masing berkas dibuat melewati dua panjang lintasan yang berbeda, dan kemudian disatukan kembali melalui pantulan dari dua cermin yang letaknya saling tegak lurus dengan titik pembagi berkas tersebut. Setelah berkas cahaya monokromatik tersebut disatukan maka akan didapat pola interferensi akibat penggabungan dua gelombang cahaya tersebut. Pola interferensi itu terjadi karena adanya perbedaan panjang lintasan yang ditempuh dua berkas gelombang cahaya yang telah disatukan tersebut.
Jika panjang lintasan dirubah dengan diperpanjang maka yang akan terjadi adalah pola-pola frinji akan masuk ke pusat pola. Jarak lintasan yang lebih panjang akan mempengaruhi fase gelombang yang jatuh ke layar. Bila pergeseran beda panjang lintasan gelombang cahaya mencapai λ maka akan terjadi interferensi konstruktif yaitu terlihat pola terang, namun bila pergeserannya hanya sejauh λ/4 yang sama artinya dengan berkas menempuh lintasan λ/2 maka akan terlihat pola gelap.
Pada gambar 4.1. ditunjukkan bentuk pola interferensi dari percobaan
interferometer Michelson dengan sumber Laser He-Ne.
Gambar 4.1 Pola Interferensi Interferometer Michelson dengan sumber Laser He-Ne
Hasil kalibrasi interferometer Michelson dapat dilihat pada gambar 4.2. Dari pergeseran pola diperoleh hasil grafik hubungan antara pergeseran cermin terhadap perubahan skala mikrometer.
jumlah pergeseran skala mikrometer
30
25
20
15
10
5
0
0
5
10
15
20
25
30
skala pergeseran mikrometer (d)
Gambar 4.2. Grafik hubungan antara pergeseran dan jumlah nilai skala pada mikrometer.
Grafik kalibrasi mikrometer yang
diperoleh merupakan grafik linier
y = 0,1099 + 0,9963 x dengan nilai slope
adalah (0,9963 ± 0,0030)µm skala dengan x
adalah skala pergeseran mikrometer (d) dan
y adalah jumlah pergeseran skala
mikrometer. Ini berarti bahwa nilai satu
skala mikrometer sama dengan pergeseran
movable
mirror
sejauh
(0,9963 ± 0,0030)µm skala .
Nilai
pergeseran pada skala mikrometer yang diperoleh ternyata tidak tepat 1µm, hal ini dikarenakan kecenderungan mikrometer yang mengalami kelenturan setelah diputar hingga batas tertentu.
Hasil dari kalibrasi mikrometer tersebut kemudian digunakan sebagai nilai patokan untuk perhitungan selanjutnya yaitu penentuan nilai panjang gelombang laser dioda. 2. Penentuan Nilai Panjang Gelombang Laser Dioda
Pada penelitian kali ini, Laser yang digunakan adalah laser dioda merah I dengan panjang gelombang 650nm, laser dioda merah II dengan panjang gelombang 635nm~670nm dan laser dioda hijau. Metode yang digunakan adalah interferometer Michelson. Untuk
menentukan nilai panjang gelombang (λ )
laser dioda merah dan laser dioda hijau, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.2) yaitu dengan menghitung perubahan frinji akibat adanya pergeseran lintasan optis pada berkas laser yang berinterferensi.
Dengan mengetahui perubahan frinji untuk tiap pergeseran skala mikrometer, maka dapat diperoleh grafik hubungan jumlah pergeseran frinji terhadap pergeseran skala seperti pada gambar berikut
jumlah perubahan frinji (N)
100 80 60 40 20 0 0
5
10
15
20
25
30
pergeseran skala mikrometer (d)
(a)
100 80 60 40 20 0 0
5
10
15
20
25
30
pergeseran skala mikrometer (d)
(b)
jumlah perubahan frinji (N)
jumlah perubahan frinji (N)
100 80 60 40 20 0 0
5
10
15
20
25
30
pergeseran skala mikrometer (d)
(c)
Gambar.4.3.(a) Grafik Pengukuran panjang gelombang Laser dioda merah I (650nm) (b) Grafik Pengukuran panjang gelombang Laser Dioda merah II (635nm ~ 670nm) (c) Grafik Pengukuran panjang gelombang laser dioda
hijau.
Gambar grafik 4.3. menunjukan
bahwa perubahan jumlah frinji linier
terhadap pergeseran lintasan optis yang
dilalui oleh berkas cahaya laser dioda. Dan
dari nilai kemiringan grafik, dapat
ditentukan nilai panjang gelombang laser
dioda merah I, laser dioda merah II dan laser dioda hijau. Nilai panjang gelombang yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Nilai panjang gelombang yang diperoleh pada penelitian
No
Data
Panjang gelombang 1
laser dioda merah I
Panjang gelombang 2
laser dioda merah II
Panjang gelombang 3
laser dioda hijau
Hasil λ = (648 ± 2)
nm λ = (645 ± 2)
nm λ = (543 ± 6)
nm
Dari grafik pengukuran nilai panjang gelombang laser dioda secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa, bila salah satu lintasan optis dari kedua berkas lintasan mengalami pergeseran, walaupun dalam orde beberapa mikro, maka akan terjadi pergeseran gelombang cahaya monokromatik sumber tersebut. Hal ini berpengaruh pada pola frinji yang dihasilkan, sehingga pada layar akan nampak pergerakan frinji (transisi frinji) dengan arah masuk pusat pola interferensi jika lintasan optisnya dibuat lebih panjang.
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, maka hasil penelitian kali ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Oktavia (2006). Pada
penelitian Oktavia, nilai satu skala mikrometer yang diperoleh adalah
(0,9902± 0,0016)µm, panjang gelombang
laser dioda merah yang terukur adalah
λ = (660,5 ±1,6)nm dan laser dioda hijau adalah λ = (530,5 ± 2,7)nm. Hal ini
membuktikan bahwa dalam waktu yang lama, alat yang digunakan masih dapat bekerja dengan baik. Dari hasil kalibrasi juga dapat membuktikan bahwa alat interferometer Michelson ini masih layak dipakai pada penelitian saat ini. 3. Analisis Pola Interferensi
Penelitian interferometer Michelson dengan berbagai sumber cahaya menghasilkan pola interferensi yang tajam, jelas dan jarak antar pola frinjinya lebih sempit. Pola interferensi untuk berbagai sumber cahaya yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4.4.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.4. Pola interefensi (a) dengan sumber laser He-Ne (b) sumber laser dioda merah I (c) sumber laser dioda merah II dan (d) sumber laser
dioda hijau.
Pada gambar 4.4 dapat dilihat bahwa pola interferensi yang dihasilkan oleh laser He-Ne (a) mempunyai pola interferensi berupa lingkaran yang membentuk cincin interferensi dan memiliki pusat pola ditengah cincin yang lebih tajam dibandingkan dengan laser dioda merah dan laser dioda hijau. Ketika sumber berupa laser dioda merah (b) dan (c) pola interferensi gelap dan terangnya terpisah dengan jelas dan bisa di amati dengan baik sehingga jarak antar frinji gelap maupun terangya dapat di ukur. Sedangkan untuk pola interferensi yang di bentuk oleh laser dioda hijau, pola yang di peroleh lebih rapat dan tajam dari pola interferensi pada sumber laser dioda merah. Hal ini disebabkan karena panjang gelombang laser dioda hijau lebih pendek. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Soedojo (1992) semakin pendek panjang gelombang suatu sumber cahaya, maka semakin pendek pula jarak pemisahan antara pola-pola terang yang terjadi.
Berikut adalah gambar dari lebar interferensi gelap terang yang terjadi pada masing-masing laser dalam kondisi yang sama, yaitu jarak laser ke lensa 7cm, jarak beam splitter ke layar 53 cm dan skala mikrometer menunjukkan nilai 3µm
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.5. lebar interferensi (a) dengan
sumber laser He-Ne, (b) sumber laser dioda
merah I (c) sumber laser dioda merah II dan (d)
sumber laser dioda hijau.
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pola interferensi yang terbentuk untuk laser yang panjang gelombangnya besar memiliki jumlah frinji yang lebih sedikit dibanding pada laser dengan panjang gelombang yang lebih kecil. Dapat dilihat pada laser He-Ne (a) bahwa jumlah frinji yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan dengan laser merah I dan II. Lebar frinji terang yang terbentuk lebih lebar dan lebih tajam dibanding dengan laser dioda merah dan laser dioda hijau. Untuk laser dioda merah I (b) jarak antar pola terang pertama dengan pola terang kedua adalah lebih lebar dan jumlah frinji yang terbentuk pada layar juga lebih sedikit dibanding dengan laser dioda merah II. Pada gambar (c) tampak bahwa jarak antar frinjinya lebih sempit dan jumlah frinji yang terbentuk lebih banyak dibanding dengan laser dioda merah I.
Sedangkan untuk laser dioda hijau (d), pola interferensinya tampak berhimpit dan frinji yang terbentuk pada layar lebih banyak dibandingkan dengan laser yang lainnya.
Banyak atau sedikitnya jumlah frinji yang terbentuk tergantung pada beda lintasan optik antara kedua cahaya yang saling berinterferensi. Semakin besar beda lintasan optik antara kedua cahaya akan menyebabkan pola-pola interferensi (frinji) semakin banyak. Demikian pula sebaliknya semakin kecil beda lintasan optik akan mengakibatkan jumlah frinji semakin sedikit. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Soedojo (1992) bahwa banyak atau sedikitnya jumlah frinji yang terbentuk tergantung pada beda lintasan optik antara kedua cahaya yang saling berinterferensi.
KESIMPULAN Dari kalibrasi mikrometer dengan
menggunakan laser He-Ne diperoleh nilai satu skala mikrometer adalah
(0,9963 ± 0,0030)µm skala .Dari hasil
penelitian diperoleh hasil perhitungan panjang gelombang dari sumber laser dioda merah I λ = (648 ± 2) nm, laser dioda merah II λ = (645 ± 2) nm dan laser dioda hijau λ = (543 ± 6) nm. Pola interferensi yang terbentuk untuk laser
Masroatul Falah Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Diponegoro
ABSTRACT
An interferometer Michelson method is used to determine wavelength of diode laser.
Before used to determine wavelength of diode laser, have been done calibration by shifting micrometer using He-Ne laser. By shifting movable mirror, the interference fringes will appear fringes on screen which is can determine wavelength of diode laser.
From the result calibration, one scala of micrometer
has (0,9963 ± 0,0030)µm skala . The wavelength of red diode laser I is (648 ± 2) nm, red diode laser II is (645 ± 2) nm, and green diode laser is (543 ± 6) nm. Fringes form laser which has a large wavelength getting fewer than
laser with a small wavelength.
Keyword : Interferometer Michelson, Interference, Wavelength.
PENDAHULUAN Fenomena interferensi selalu berkaitan
dengan teori gelombang cahaya. Pada hakekatnya cahaya mempunyai besaran amplitudo, panjang gelombang, fase serta kecepatan. Apabila cahaya melewati suatu medium maka kecepatannya akan mengalami perubahan. Jika perubahan tersebut diukur, maka dapat di peroleh informasi tentang keadaan objek/medium yang bersangkutan misal indeks bias, tebal medium dari bahan yang dilewatinya dan panjang gelombang sumbernya.
Pengukuran panjang gelombang cahaya dapat dilakukan dengan cara interferensi. Untuk mendapatkan pola interferensi ada berbagai metode, antara lain dengan interforemeter Michelson, interferometer Fabry Perot dan interferometer Twymen Green. Interferometer yang dikembangkan oleh A.A. Michelson pada tahun 1881 menggunakan prinsip membagi amplitudo gelombang cahaya menjadi dua bagian yang berintensitas sama. Pembelahan amplitudo gelombang
menjadi dua bagian dilakukan dengan menggunakan pemecah sinar (beam splitter). Pola interferensi yang terbentuk pada interferometer Michelson lebih tajam, lebih jelas dan jarak antar frinjinya lebih sempit dibanding interferometer yang lain, baik interferometer Fabry Perot maupun Twymen Green (Resnick, 1999).
Dalam penelitian ini yang diamati adalah perubahan pola dan jumlah frinji interferensi pada Interferometer Michelson, sehingga dari perubahan pola frinji tersebut dapat dihitung nilai panjang gelombang laser dioda merah dan laser dioda hijau.
Manfaat dari penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai fenomena fisis dari interferensi dan prinsip kerja interferometer Michelson, sebagai kalibrasi alat optis dan sebagai dasar dalam pembuatan spektrometer. Untuk aplikasi lebih lanjut dapat diterapkan pada teknologi film tipis.
DASAR TEORI 1. Interferensi
Interferensi dan difraksi merupakan fenomena penting yang membedakan gelombang dari partikel. Interferensi ialah penggabungan secara superposisi dua gelombang atau lebih yang bertemu dalam satu titik di ruang. Sedangkan difraksi adalah pembelokan gelombang di sekitar sudut yang terjadi apabila sebagian muka
gelombang dipotong oleh halangan atau rintangan (Tipler, 1991).
Apabila dua gelombang yang berfrekuensi dan berpanjang gelombang sama tapi berbeda fase bergabung, maka gelombang yang dihasilkan merupakan gelombang yang amplitudonya tergantung pada perbedaan fasenya. Jika perbedaan fasenya 0 atau bilangan bulat kelipatan 360°, maka gelombang akan sefase dan berinterferensi secara saling menguatkan (interferensi konstruktif). Sedangkan amplitudonya sama dengan penjumlahan amplitudo masing-masing gelombang. Jika perbedaan fasenya 180° atau bilangan ganjil kali 180°, maka gelombang yang dihasilkan akan berbeda fase dan berinterferensi secara saling melemahkan (interferensi destruktif). Amplitudo yang dihasilkan merupakan perbedaan amplitudo masing-masing gelombang (Tipler, 1991).
Perbedaan fase antara dua gelombang sering disebabkan oleh adanya perbedaan panjang lintasan yang ditempuh oleh kedua gelombang. Perbedaan lintasan satu panjang gelombang menghasilkan perbedaan fase 360o, yang ekivalen dengan tidak ada perbedaan fase sama sekali. Perbedaan lintasan setengah panjang gelombang menghasilkan perbedaan fase 180o. Umumnya, perbedaan lintasan yang sama
dengan ∆d menyumbang suatu perbedaan
fase δ yang diberikan oleh (Tipler, 1991):
δ = ∆d 2π = ∆d 360o
(2.1)
λ
λ
Interferensi gelombang dari dua
sumber tidak teramati kecuali sumbernya
koheren, atau perbedaan fase di antara
gelombang konstan terhadap waktu. Karena
berkas cahaya pada umumnya adalah hasil
dari jutaan atom yang memancar secara
bebas, dua sumber cahaya biasanya tidak
koheren (Laud, 1988). Koherensi dalam
optika sering dicapai dengan membagi
cahaya dari sumber tunggal menjadi dua
berkas atau lebih, yang kemudian dapat
digabungkan untuk menghasilkan pola
interferensi. Pembagian ini dapat dicapai
dengan memantulkan cahaya dari dua
permukaan yang terpisah (Tipler, 1991).
Suatu alat yang dirancang untuk
menghasilkan pola interferensi dari
perbedaan panjang lintasan disebut
interferometer optik. Interferometer
dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
interferometer pembagi muka gelombang
dan interferometer pembagi amplitudo. Pada
pembagi muka gelombang, muka
gelombang pada berkas cahaya pertama di
bagi menjadi dua, sehingga menghasilkan
dua buah berkas sinar baru yang koheren,
dan ketika jatuh di layar akan membentuk
pola interferensi yang berwujud garis gelap
terang berselang-seling. Di tempat garis
terang, gelombang-gelombang dari kedua
celah sefase sewaktu tiba di tempat
tersebut. Sebaliknya di tempat garis (2.1)
gelap, gelombang-gelombang dari kedua
celah berlawanan fase sewaktu tiba di
tempat tersebut (Soedojo, 1992).
Untuk pembagi amplitudo,
diumpamakan sebuah gelombang cahaya
jatuh pada suatu lempeng kaca yang tipis.
Sebagian dari gelombang akan diteruskan
dan sebagian lainnya akan dipantulkan.
Kedua gelombang tersebut tentu saja
mempunyai amplitudo yang lebih kecil
dari gelombang sebelumnya. Ini dapat
dikatakan bahwa amplitudo telah terbagi.
Jika dua gelombang tersebut bisa
disatukan kembali pada sebuah layar
maka akan dihasilkan pola interferensi
(Hecht, 1992).
2.2. Interferometer Michelson
Interferometer
Michelson
merupakan seperangkat peralatan yang
memanfaatkan gejala interferensi. Prinsip
interferensi adalah kenyataan bahwa beda
lintasan optik (d) akan membentuk suatu
frinji (Resnick, 1993). Gambar dibawah
merupakan
diagram
skematik
interferometer Michelson. Oleh
permukaan beam splitter (pembagi
berkas) cahaya laser, sebagian
dipantulkan ke kanan dan sisanya
ditransmisikan ke atas. Bagian yang
dipantulkan ke kanan oleh suatu cermin
datar (cermin 1) akan dipantulkan kembali ke beam splitter yang kemudian menuju ke screen (layar). Adapun bagian yang ditransmisikan ke atas oleh cermin datar (cermin 2) juga akan dipantulkan kembali ke beam splitter, kemudian bersatu dengan cahaya dari cermin 1 menuju layar, sehingga kedua sinar akan berinterferensi yang ditunjukkan dengan adanya pola-pola cincin gelap-terang (frinji) (Soedojo, 1992).
1
lensa
Beam splitter
2 4
3
Gambar 2.1 Skema Interferometer Michelson dengan
1. laser, 2. cermin 1, 3. cermin 2, 4. layar
Pengukuran jarak yang tepat dapat
diperoleh dengan menggerakan cermin pada
Interferometer Michelson dan menghitung
frinji interferensi yang bergerak atau
berpindah, dengan acuan suatu titik pusat.
Sehingga diperoleh jarak pergeseran yang
berhubungan dengan perubahan frinji,
sebesar:
∆d = ∆Nλ 2
(2.2)
dengan ∆d adalah perubahan lintasan
optis, λ adalah nilai panjang gelombang
sumber cahaya dan ∆N adalah perubahan jumlah frinji (Phywe,2006). 2.3. Spektrum Atomik
Telah ditemukan bahwa zat mampat (zat padat dan zat cair) pada setiap temperatur memancarkan radiasi dengan berbagai panjang gelombang, walaupun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jika gas atomik atau uap yang bertekanan sedikit di bawah tekanan atmosfer, radiasi yang dipancarkan mempunyai spektrum yang berisi hanya panjang gelombang tertentu saja. Susunan ideal untuk mengamati spektrum atomik seperti itu digunakan spektrometer yang memakai kisi difraksi (Beiser, 1992).
Menurut Sears (1972), jika sumber cahaya adalah zat padat atau zat cair yang berpijar maka spektrumnya adalah kontinu, yaitu cahaya yang terdiri dari semua panjang gelombang. Tetapi jika sumber adalah gas yang didalamnya terjadi pelepasan muatan listrik atau sebuah nyala api maka spektrum yang muncul bukanlah sebuah pita warna kontinu tetapi hanya beberapa warna dalam bentuk garis-garis sejajar yang terisolasi. Spektrum semacam ini dikatakan sebagai spektrum garis.
Jangkauan spektrum cahaya tampak pada panjang gelombangnya adalah dari 380nm (dalam daerah warna
ungu) sampai dengan 760nm (dalam daerah
warna merah). Aproksimasi jangkauan
panjang gelombang untuk berbagai warna
dalam jangkauan cahaya tampak
ditunjukkan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Jangkauan panjang gelombang
berbagai warna dalam spektrum
cahaya tampak (Miller dan Schrocer,
1987)
Warna
Jangkauan panjang
gelombang (nm)
Ungu
380 – 450
Biru
450 – 490
Hijau
490 – 560
Kuning
560 – 590
Jingga
590 – 630
Merah
630 – 760
METODE PENELITIAN Langkah pertama yang harus dilakukan
dalam penelitian ini adalah mengkalibrasi interferometer Michelson dengan cara mengatur posisi laser, beam splitter, kedua cermin dan lensa agar sinar laser yang melewati semua peralatan tersebut tepat segaris. Kemudian mencari pola interferensi dengan cara menggeser-geser salah satu cermin sampai dihasilkan pola gelap terang (frinji) pada layar.
Kalibrasi mikrometer ini bertujuan untuk menentukan nilai 1 skala mikrometer (d) pada alat belum tentu sama dengan pergeseran cermin (movable mirror) sebesar 1 µm . Kalibrasi mikrometer dilakukan dengan menggeser movable mirror tiap 1µm, hingga mencapai 25 pergeseran skala
mikrometer. Akibat pergeseran skala
mikrometer maka pada layar akan
nampak perubahan jumlah frinji.
Sehingga dari transisi frinji yang
terhitung dapat ditentukan nilai tiap skala
mikrometer dengan menganggap nilai
panjang gelombang laser He-Ne adalah
632,8nm
Adanya perbedaan frekuensi
sumber menyebabkan nilai panjang
gelombang yang dihasilkan berbeda,
maka dengan prinsip interferometer
Michelson ini nilai panjang gelombang
laser dioda merah dan laser dioda hijau
dapat diukur. Untuk menentukan nilai
panjang gelombang (λ ) laser dioda merah
dan laser dioda hijau, dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan:
λ = 2∆d . Yaitu dengan cara, ∆N
menggeser movable mirror sehingga
panjang lintasan optis ikut bergeser
sejauh ∆d. Akibat pergeseran tersebut
maka pada layar akan tampak perubahan
jumlah frinji (frinji masuk ke pusat
interferensi) sebesar ∆N dan akhirnya
dapat diperoleh nilai λ. Pergeseran
dilakukan tiap 1 skala mikrometer.
Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ∆d (perubahan
lintasan optis), d (beda lintasan optis),
∆N (perubahan frinji), N (jumlah
perubahan frinji),
λ0 (panjang
gelombang laser He-Ne pada referensi = 632,8nm).
Diagram alat Interferometer Michelson yang digunakan dalam percobaan ditunjukan pada gambar di bawah ini:
1
2 5
7 3
6 4
8
Gambar 3.2 diagram alat percobaan Interferometer Michelson dengan keterangan gambar (1)Laser (2)lensa cembung (3)cermin tetap (4)cermin yang dapat digerakkan (5)beam splliter (6)layar (7)kamera digital (8)komputer
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kalibrasi Mikrometer
Kalibrasi mikrometer dilakukan dengan menggeser movable mirror tiap 1 µm, hingga mencapai 25 pergeseran skala mikrometer. Penentuan satu skala mikrometer pada Interferometer Michelson, diperoleh dengan menganggap nilai panjang gelombang laser He-Ne adalah tepat 632,8 nm (sesuai referensi), dengan persamaan (2.2) maka dapat dihitung nilai tiap satu skala mikrometer.
Prinsip dari percobaan interferometer Michelson yang telah dilakukan, yaitu
seberkas cahaya monokromatik yang dipisahkan di suatu titik tertentu sehingga masing-masing berkas dibuat melewati dua panjang lintasan yang berbeda, dan kemudian disatukan kembali melalui pantulan dari dua cermin yang letaknya saling tegak lurus dengan titik pembagi berkas tersebut. Setelah berkas cahaya monokromatik tersebut disatukan maka akan didapat pola interferensi akibat penggabungan dua gelombang cahaya tersebut. Pola interferensi itu terjadi karena adanya perbedaan panjang lintasan yang ditempuh dua berkas gelombang cahaya yang telah disatukan tersebut.
Jika panjang lintasan dirubah dengan diperpanjang maka yang akan terjadi adalah pola-pola frinji akan masuk ke pusat pola. Jarak lintasan yang lebih panjang akan mempengaruhi fase gelombang yang jatuh ke layar. Bila pergeseran beda panjang lintasan gelombang cahaya mencapai λ maka akan terjadi interferensi konstruktif yaitu terlihat pola terang, namun bila pergeserannya hanya sejauh λ/4 yang sama artinya dengan berkas menempuh lintasan λ/2 maka akan terlihat pola gelap.
Pada gambar 4.1. ditunjukkan bentuk pola interferensi dari percobaan
interferometer Michelson dengan sumber Laser He-Ne.
Gambar 4.1 Pola Interferensi Interferometer Michelson dengan sumber Laser He-Ne
Hasil kalibrasi interferometer Michelson dapat dilihat pada gambar 4.2. Dari pergeseran pola diperoleh hasil grafik hubungan antara pergeseran cermin terhadap perubahan skala mikrometer.
jumlah pergeseran skala mikrometer
30
25
20
15
10
5
0
0
5
10
15
20
25
30
skala pergeseran mikrometer (d)
Gambar 4.2. Grafik hubungan antara pergeseran dan jumlah nilai skala pada mikrometer.
Grafik kalibrasi mikrometer yang
diperoleh merupakan grafik linier
y = 0,1099 + 0,9963 x dengan nilai slope
adalah (0,9963 ± 0,0030)µm skala dengan x
adalah skala pergeseran mikrometer (d) dan
y adalah jumlah pergeseran skala
mikrometer. Ini berarti bahwa nilai satu
skala mikrometer sama dengan pergeseran
movable
mirror
sejauh
(0,9963 ± 0,0030)µm skala .
Nilai
pergeseran pada skala mikrometer yang diperoleh ternyata tidak tepat 1µm, hal ini dikarenakan kecenderungan mikrometer yang mengalami kelenturan setelah diputar hingga batas tertentu.
Hasil dari kalibrasi mikrometer tersebut kemudian digunakan sebagai nilai patokan untuk perhitungan selanjutnya yaitu penentuan nilai panjang gelombang laser dioda. 2. Penentuan Nilai Panjang Gelombang Laser Dioda
Pada penelitian kali ini, Laser yang digunakan adalah laser dioda merah I dengan panjang gelombang 650nm, laser dioda merah II dengan panjang gelombang 635nm~670nm dan laser dioda hijau. Metode yang digunakan adalah interferometer Michelson. Untuk
menentukan nilai panjang gelombang (λ )
laser dioda merah dan laser dioda hijau, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.2) yaitu dengan menghitung perubahan frinji akibat adanya pergeseran lintasan optis pada berkas laser yang berinterferensi.
Dengan mengetahui perubahan frinji untuk tiap pergeseran skala mikrometer, maka dapat diperoleh grafik hubungan jumlah pergeseran frinji terhadap pergeseran skala seperti pada gambar berikut
jumlah perubahan frinji (N)
100 80 60 40 20 0 0
5
10
15
20
25
30
pergeseran skala mikrometer (d)
(a)
100 80 60 40 20 0 0
5
10
15
20
25
30
pergeseran skala mikrometer (d)
(b)
jumlah perubahan frinji (N)
jumlah perubahan frinji (N)
100 80 60 40 20 0 0
5
10
15
20
25
30
pergeseran skala mikrometer (d)
(c)
Gambar.4.3.(a) Grafik Pengukuran panjang gelombang Laser dioda merah I (650nm) (b) Grafik Pengukuran panjang gelombang Laser Dioda merah II (635nm ~ 670nm) (c) Grafik Pengukuran panjang gelombang laser dioda
hijau.
Gambar grafik 4.3. menunjukan
bahwa perubahan jumlah frinji linier
terhadap pergeseran lintasan optis yang
dilalui oleh berkas cahaya laser dioda. Dan
dari nilai kemiringan grafik, dapat
ditentukan nilai panjang gelombang laser
dioda merah I, laser dioda merah II dan laser dioda hijau. Nilai panjang gelombang yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Nilai panjang gelombang yang diperoleh pada penelitian
No
Data
Panjang gelombang 1
laser dioda merah I
Panjang gelombang 2
laser dioda merah II
Panjang gelombang 3
laser dioda hijau
Hasil λ = (648 ± 2)
nm λ = (645 ± 2)
nm λ = (543 ± 6)
nm
Dari grafik pengukuran nilai panjang gelombang laser dioda secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa, bila salah satu lintasan optis dari kedua berkas lintasan mengalami pergeseran, walaupun dalam orde beberapa mikro, maka akan terjadi pergeseran gelombang cahaya monokromatik sumber tersebut. Hal ini berpengaruh pada pola frinji yang dihasilkan, sehingga pada layar akan nampak pergerakan frinji (transisi frinji) dengan arah masuk pusat pola interferensi jika lintasan optisnya dibuat lebih panjang.
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, maka hasil penelitian kali ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Oktavia (2006). Pada
penelitian Oktavia, nilai satu skala mikrometer yang diperoleh adalah
(0,9902± 0,0016)µm, panjang gelombang
laser dioda merah yang terukur adalah
λ = (660,5 ±1,6)nm dan laser dioda hijau adalah λ = (530,5 ± 2,7)nm. Hal ini
membuktikan bahwa dalam waktu yang lama, alat yang digunakan masih dapat bekerja dengan baik. Dari hasil kalibrasi juga dapat membuktikan bahwa alat interferometer Michelson ini masih layak dipakai pada penelitian saat ini. 3. Analisis Pola Interferensi
Penelitian interferometer Michelson dengan berbagai sumber cahaya menghasilkan pola interferensi yang tajam, jelas dan jarak antar pola frinjinya lebih sempit. Pola interferensi untuk berbagai sumber cahaya yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4.4.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.4. Pola interefensi (a) dengan sumber laser He-Ne (b) sumber laser dioda merah I (c) sumber laser dioda merah II dan (d) sumber laser
dioda hijau.
Pada gambar 4.4 dapat dilihat bahwa pola interferensi yang dihasilkan oleh laser He-Ne (a) mempunyai pola interferensi berupa lingkaran yang membentuk cincin interferensi dan memiliki pusat pola ditengah cincin yang lebih tajam dibandingkan dengan laser dioda merah dan laser dioda hijau. Ketika sumber berupa laser dioda merah (b) dan (c) pola interferensi gelap dan terangnya terpisah dengan jelas dan bisa di amati dengan baik sehingga jarak antar frinji gelap maupun terangya dapat di ukur. Sedangkan untuk pola interferensi yang di bentuk oleh laser dioda hijau, pola yang di peroleh lebih rapat dan tajam dari pola interferensi pada sumber laser dioda merah. Hal ini disebabkan karena panjang gelombang laser dioda hijau lebih pendek. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Soedojo (1992) semakin pendek panjang gelombang suatu sumber cahaya, maka semakin pendek pula jarak pemisahan antara pola-pola terang yang terjadi.
Berikut adalah gambar dari lebar interferensi gelap terang yang terjadi pada masing-masing laser dalam kondisi yang sama, yaitu jarak laser ke lensa 7cm, jarak beam splitter ke layar 53 cm dan skala mikrometer menunjukkan nilai 3µm
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.5. lebar interferensi (a) dengan
sumber laser He-Ne, (b) sumber laser dioda
merah I (c) sumber laser dioda merah II dan (d)
sumber laser dioda hijau.
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pola interferensi yang terbentuk untuk laser yang panjang gelombangnya besar memiliki jumlah frinji yang lebih sedikit dibanding pada laser dengan panjang gelombang yang lebih kecil. Dapat dilihat pada laser He-Ne (a) bahwa jumlah frinji yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan dengan laser merah I dan II. Lebar frinji terang yang terbentuk lebih lebar dan lebih tajam dibanding dengan laser dioda merah dan laser dioda hijau. Untuk laser dioda merah I (b) jarak antar pola terang pertama dengan pola terang kedua adalah lebih lebar dan jumlah frinji yang terbentuk pada layar juga lebih sedikit dibanding dengan laser dioda merah II. Pada gambar (c) tampak bahwa jarak antar frinjinya lebih sempit dan jumlah frinji yang terbentuk lebih banyak dibanding dengan laser dioda merah I.
Sedangkan untuk laser dioda hijau (d), pola interferensinya tampak berhimpit dan frinji yang terbentuk pada layar lebih banyak dibandingkan dengan laser yang lainnya.
Banyak atau sedikitnya jumlah frinji yang terbentuk tergantung pada beda lintasan optik antara kedua cahaya yang saling berinterferensi. Semakin besar beda lintasan optik antara kedua cahaya akan menyebabkan pola-pola interferensi (frinji) semakin banyak. Demikian pula sebaliknya semakin kecil beda lintasan optik akan mengakibatkan jumlah frinji semakin sedikit. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Soedojo (1992) bahwa banyak atau sedikitnya jumlah frinji yang terbentuk tergantung pada beda lintasan optik antara kedua cahaya yang saling berinterferensi.
KESIMPULAN Dari kalibrasi mikrometer dengan
menggunakan laser He-Ne diperoleh nilai satu skala mikrometer adalah
(0,9963 ± 0,0030)µm skala .Dari hasil
penelitian diperoleh hasil perhitungan panjang gelombang dari sumber laser dioda merah I λ = (648 ± 2) nm, laser dioda merah II λ = (645 ± 2) nm dan laser dioda hijau λ = (543 ± 6) nm. Pola interferensi yang terbentuk untuk laser
Categories
You my also like
Laser Beam Analysis Using Image Processing
269.5 KB2.2K281Electron Beam, Laser Beam And Plasma Arc Welding
3.6 MB7.9K3.1KXMUT204 Electronic Design Note 2d: Diode Applications
958.3 KB16.1K7.9KInterfacing Maxim Laser Drivers with Laser Diodes
470.5 KB15.7K2.2KFiberMark 24 Laser
6.8 MB5.8K2.3KJournal of Dental Science Research Reviews & Reports
431 KB14.2K2.6KLow Lever Laser Therapy Contraindications
109.8 KB27.8K11.4KInvestigating Longitudinal Laser Modes using a Scanning Fabry
131.5 KB21.5K10.7KHNL Series Red HeNe Lasers User Guide
3.2 MB4.3K1.3K